Persahabatan dalam Bingkai Iman
Persahabatan dalam
Bingkai Iman
Alkisah terdapat seorang pemuda bernama Ali
yang memiliki beberapa sahabat karib yakni Mahmud, Riza, Sulton, dan Dika.
Mereka terlihat seperti saudara yang selalu bersama, dimana ada Ali maka disitu
akan ada Mahmud, Riza, Sulton, dan Dika. Bukan sebuah hal yang asing, mengingat
para remaja umumnya memang hidup berkelompok dengan teman sebaya, hingga
memiliki identitas dalam kelompok tersebut. Ali, Mahmud, dan Riza lebih dulu berteman
sejak mereka menjadi siswa di Madrasah Aliyah hingga saat ini sudah menjadi mahasiswa,
hari-hari mereka habiskan untuk kumpul berdiskusi, ibadah sunnah dan wajib mereka
jalani bersama,sampai Sulton dan Dika datang dan menjadi bagian dari persahabatan
itu.
Memasuki semester 2 di Perguruan Tinggi,
mereka lima sekawan bersekongkol untuk satu kelas bersama. Ali mengenal Sulton
dan Dika ketika masa orientasi mahasiswa baru, mereka satu kelompok, selalu
mengerjakan tugas bersama, berkelompok bersama, tinggal satu kontrakan hingga
tercipta keraketan diantara mereka berlima. Malam itu adalah malam penentuan, penentuan
kehidupan di semester dua, mereka menyusun strategi jitu agar mendapat kelas
yang strategis, terjaga sepanjang malam menantikan perang berebut mata kuliah
alias KRS. Lewat jam 12 malam mereka masih terjaga dengan beberapa cangkir kopi
yang memenuhi meja, Ali memutar murottal Qur’an yang menjadi kegemarannya, lain
lagi dengan Dika yang dengan gigihnya memaksakan memutar musik rock dikala
malam tenang, campur aduk bagaikan air dan minyak, Sulton dan Mahmud terbawa suasana
nge-rock, sementara Riza mulai geram dengan gerakan lincah merebut kotak musik
Dika lantas mematikannya, tidak ingin Dika salah paham dengan tindakannya, Riza
kemudian mematikan murottal yang diputar oleh Ali juga.
“Nah, gini kan enak. Tenang”, ucap Riza dengan santai
Ali paham dengan maksud Riza yang ingin menengahi
dan berbuat adil agar tidak terjadi perang dunia disamping perang mata kuliah,
juga paham dengan karakter Dika yang sangat menyukai musik Rock hingga tidak
tahan untuk memutarnya ketika Ali sudah memutar murottal. Suasana saling ejek
dan tertawa memenuhi ruangan yang dikelilingi bangunan sepi. Ali, Mahmud, dan
Sulton tertidur sesaat kalah melawan kantuk yang tidak bersahabat. Sementara
Riza masih dengan cueknya memandangi situs kampus dan merefreshnya setiap 5
menit, Dika masih asik main gadget hingga sadar kawannya sudah tertidur, naluri
jailnya keluar.
“Udah ada kelasnya, ey!”, teriak Dika heboh dengan gelagat yang
meyakinkan.
Tiga manusia yang tertidur sontak kaget dan
meraih laptop, tawa Dika memenuhi ruang, Riza mengikuti, keduanya saling
tertawa. Zonk. Sulton lantas mengeluarkan jurus-jurus aneh untuk memberi
pelajaran pada Dika dan Riza. Waktu menunjukan pukul setengah 2 dini hari, kelas
belum juga keluar, Ali yang tersabar diantara mereka mengajak untuk sebagian
sholat malam, sebagian menjaga situs kampus. Riza dan Mahmud beranjak berdiri.
“Tunggu!”, sanggah Dika.
“Nanti kalau kelas keluar gimana, takutnya kalian gak dapet
kelas karena kuota penuh, ntar aja dong sholatnya kalau udah dapet kelas”
“Sebentar kok Dik”, Ali menanggapi Dika dengan tenang
“Aku sholat nanti aja deh Li, nunggu kelas keluar”, Mahmud duduk
kembali merebut
laptopnya. Ali memandangi Riza yang masih berdiri, berharap Riza
mengikuti ajakannya.
“Iyadeh, ntar deh”, Ucap Riza mengikuti Mahmud.
Ali menghela nafas, memandangi sahabat
karibnya yang dulunya selalu semangat kalau
diajak sholat malam, Mahmud dan Riza. Ali menjalankan kakinya
menuju tempat wudhu,
meninggalkan mereka berempat dalam kesenangan maya. Setelah selesai
Ali menghampiri
mereka, disuguhkan pemandangan yang membuatnya heran.
“Diajak sholat takut
tidak mendapat kelas, lha kok malah tidur bagaikan ikan berjejeran”, pikir Ali.
Ali membiarkan mereka tidur, karena sepertinya
kelas tidak akan keluar dini hari ini,
lebih baik ikut terlelap dengan mereka. Ternyata memang sesuai
dugaan, pukul 8 pagi kelas
baru keluar, dan mereka hampir tidak mendapat kelas. Untung saja
masih hampir.
Sudah memasuki hari kesekian mereka menempuh
semester 2, jadwal mereka
terbilang padat dengan beberapa aktivitas seperti kepanitiaan,
ormawa, BSO, dan UKM. Status persahabatan lima sekawan itu masih langgeng.
Hingga suatu waktu Ali mulai sadar mengenai persahabatannya yang kurang amar ma’ruf
nahi munkar alias saling mengajak dalam kebaikan dan mencegah pada kemunkaran.
Sore hari di serambi m
asjid Jami’Al-Huda seorang pria dengan kumis tipis menghampiri
Ali. Mereka saling bertegur sapa dan berbincang.
“Ali, dimana saja kok jarang ketemu”, Sapa Ridwan, yang ternyata
adalah kakak tingkat
Ali semasa Aliyah juga di Perguruan Tinggi
ini. Sejak awal semester Ali memang sering berada di masjid Jami’Al-Huda
sepulang kuliah sekitar sore hari, semangat menghadiri majelis ta’lim, serta
kajian-kajian islam. Tentu saja bersama rekan sejawadnya Riza. Lain halnya
dengan Mahmud yang lebih memprioritaskan kegiatan ekstra kampus berama Dika dan
Sulton. Seiring berjalannya waktu, menginjak pertengahan semester dua semakin
jarang Ali menapakkan kakinya di masjid kampus tersebut, sepertinya terlalu asik bermain-main dengan
kawan hidupnya, lima sekawan.
“Hehe, apa kabar mas?”,Jawab Ali mengalihkan topik. Memang Ali
terbiasa melakukan hal semacam itu ketika tidak ingin memberikan jawaban,
alasannya sederhana, Ali tidak ingin memberikan jawaban yang berisi alasan
maupun kebohongan.
“Alhamdulillah, baik-baik. Pasti sibuk kegiatan kuliah Li? Sempe
tin lah ikut ta’lim”
“Hehe, insyaAllah mas”
“Riza mana kok gak sama kamu? Mahmud juga, gak pernah lihat dia
ke masjid.”
“Riza sama Mahmud lagi ada kegiatan, mas”
“Oh, ya ya. Ajak mereka kesini lah, kangen aku. Haha..”, Ali
ikut tertawa, mereka sama-sama tertawa, dan melanjutkan pembicaraan dengan
topik lain.
Dalam keramaian dan keseruan mereka, Ali
merasa sepi, merasa sendiri, sepertinya persahabatan mereka sedikit lagi akan
goyah. Ali teringat dengan suatu hadits riwayat Bukhari no. 2101, dari Abu
Musa, mengenai pertemanan, disebutkan bahwa
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang salih dan orang
yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi.
Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya
atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau
tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat
baunya yang tidak enak”. Ali merasa seperti berteman dengan pandai besi, merasa
malu dengan dirinya yang tidak dapat mengajak teman-temannya dalam kebaikan, merasa
tidak didengarkan, justru ikut meninggalkan majelis ta’lim, meninggalkan
sunnah, Ali istighfar berkali-kali. Beberapa hari Ali meninggalkan kesenangan
dengan lima sekawan tersebut, berusaha tidak terpengaruh dengan kawan-kawannya
yang tidak sesuai harapan Ali, yang lain mulai menyadari gelagat Ali yang tidak
antusias dalam persahabatan tersebut. Diajaklah Ali berdiskusi oleh Riza,
berserta tiga teman lainnya.
“Ali, ada masalah? Cerita aja”, Riza mengawali perbincangan.
“Eh, udah selesai main game?” Ali mengalihkan pembicaraan lagi
“Gini nih bikin males, jangan ngalihin topik lah Li. Kamu ada
masalah apa? Akhir-akhir ini
jarang main sama kita, selalu pergi sendiri, udah gak nyaman sama
kita?” Balas Dika tajam.
Sepertinya Ali belum bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut,alasannya tidak ingin
mengecewakan dan melukai perasaan kawannya. Ali beranjak dari
duduknya, meletakkan buku yang belum selesai dibaca.
“Aku sholat dulu” Jawab Ali singkat sembari melangkahkan kaki.
Dika menggerutu, emosinya memang
meledak-ledak, begitupun Mahmud yang ikut marah dengan sikap Ali yang menjengkelkan. Riza dan Sulton berusaha
menenangkan. Setelah sholat, Ali merasa lebih baik, hatinya lebih tenang. Ali
mulai berpikir, tidak ada gunanya berdiam diri memendam masalah, dengan begitu
kawan-kawannya juga masih terluka, lebih baik menjelaskan semuanya. Akhirnya
Ali menghampiri Riza, Mahmud, Sulton dan Dika, yang masih termenung dengan raut
kecewa. Ali menjelaskan semua yang dirasakan dari awal hingga akhir.
“Aku ngerti yang kamu rasain, maaf Li”
Dika paham dengan maksud dan harapan Ali terhadap persahabatan
tersebut. Semua ikut memahami dan mengucap maaf.
“Tidak perlu mengucap maaf” Ali sudah merasa lebih baik.
---
Setelah kejadian tersebut, akhirnya Ali mulai
didengarkan, persahabatan mereka menjadi lebih sejuk dengan kebahagiaan yang
utuh. Saling mengingatkan untuk ibadah, menyempatkan untuk menghadiri majelis
ta’lim bersama-sama, dan kegiatan bermanfaat lainnya. Indahnya saling mendengar
dan didengar, indahnya mengajak kepada kebaikan, serta indahnya persahabatan
dalam bingkai iman.
-SDA-
Komentar
Posting Komentar