Perbedaan Adalah Cara Menyatukan Kita
Oleh Ardiana Meilinawati (Universitas Airlangga)
Dalam tahap perkembangan remaja menuju
dewasa, sudah sewajarnya seseorang akan mencoba berbagai macam hal sebagai
bentuk pencarian jati diri. Sebagian remaja melakukan berbagai aktivitas untuk
menemukan arti kehidupan mereka. Pemaknaan hidup itu akan dijadikan panduan
untuk menjadi seseorang yang sukses di masa depan. Tidak heran jika selepas
lulus dari sekolah menengah atas, remaja akan mengeksplorasi dirinya melalui berbagai
kegiatan.
Aktivitas yang dilakukan remaja biasa
dimulai dari hal yang sepele seperti memanjangkan rambut sampai menjadi seorang
aktivis dakwah di kampus. Mungkin sebagian beranggapan bahwa pilihan itu
dilakukan supaya ada cerita yang bisa dibagikan kepada anak cucu kelak usia
memasuki tahap lansia. Bagi sebagian lain, pilihan itu punya pengaruh kuat
dalam membentuk karakter diri dan menebar manfaat kepada masyarakat.
Anak-anak muda khususnya generasi milenial
kelak menjadi penerus bangsa. Merekalah yang menentukan nasib bangsa di masa
depan. Jika mereka melakukan suatu hal dengan cara yang benar maka dapat
diprediksi bahwa bangsa ini menjadi aman, damai, dan sejahtera. Namun jika
salah, kita takkan tahu akan seperti apa bangsa ini nantinya. Kabar baiknya,
generasi milenial memiliki semangat yang kuat untuk mendalami ilmu agama
sebagai dasar paling utama dalam berpikir dan berperilaku. Perkembangan
teknologi pun mendukung semangat mereka
dalam belajar agama. Dengan mudah mereka akses melalui video kajian, film-film
Islami, bahkan daily vlog artis ternama yang ramai membagikan kisah
hijrah mereka.
Metode dakwah yang dilakukan oleh para
ulama telah berkembang mengikuti zamannya. Kajian tentang agama tidak lagi
hanya duduk di masjid tetapi diganti dengan nongkrong bersama di warung
kopi. Bahasan soal agama menjadi aktivitas yang menyenangkan. Fikih sebagai
suatu cabang ilmu dalam Islam seringkali menjadi bahasan yang paling menarik.
Mereka cenderung tertarik membahas masalah hukum-hukum Islam khususnya dalam
beribadah yang erat kaitannya dengan aktivitas sehari-hari.
Tidak dapat dielakkan bahwa Islam memiliki
berbagai macam pandangan dalam fikih yang biasa kita kenal dengan sebutan
madzhab. Terdapat empat madzhab yang paling dikenal masyarakat yakni madzhab
Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hambali, dan madzhab Hanafi. Perbedaan keempat
ulama ini hanya sebatas fikih Islam, tidak ada perbedaan sedikit pun dalam hal
akidah atau keyakinan. Keempat ulama sama-sama menyatakan bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Generasi milenial seringkali membahas
masalah fikih yang ditujukan untuk menyempurnakan ibadahnya sesuai tuntunan
Rasulullah. Mereka pun tidak segan-segan menegur temannya yang salah dalam
gerakan salat sesuai yang mereka yakini. Sebagian besar orang mungkin dapat
menerima teguran itu bahkan berterima kasih karena pengetahuan mereka
bertambah. Namun, tidak semua orang dapat menerima teguran itu terutama mereka
yang memiliki perbedaan pandangan dalam ibadah.
Pada awalnya, generasi milenial yang haus
akan ilmu agama memiliki niat yang baik ketika menegur temannya. Akan tetapi,
cara yang digunakan seringkali terkesan menghakimi orang lain. Terkadang mereka
merasa paling tahu dan paling benar soal fikih. Hal ini menjadi poin penting
bagaimana metode dakwah itu harus disesuaikan dengan keadaan terutama dari si
penerima. Sangat disayangkan bahwa generasi milenial kerap kali
mempermasalahkan fikih dengan berdebat bahkan saling menaruh benci terhadap
temannya.
Suatu
waktu, salah satu pengisi kajian di sebuah universitas bercerita tentang pengalamannya
menimba ilmu di Timur Tengah. Beliau mengatakan bahwa di sana banyak sekali
pemuda yang berdebat soal fikih. Mereka memperdebatkan hal-hal berkaitan dengan
gerakan salat, tata cara berwudu, dan berdoa sampai-sampai mereka melakukan
kekerasan.
Negara
Timur Tengah yang sebagian besar menganut Islam mempermalukan agama mereka
sendiri dengan saling berdebat tak berkesudahan antar sesama muslim. Bermula
dari hal yang sepele soal perbedaan pandangan, suatu bangsa bisa hancur jika
para remaja masih mengutamakan egonya untuk mempertahankan apa yang mereka
anggap paling benar.
Perdebatan takkan ada habisnya jika tidak
ada pihak yang mengalah. Permasalahannya adalah kedua pihak tidak akan mengalah
demi mempertahankan keyakinannya seperti apa yang telah dititipkan para
leluhurnya. Sangat disayangkan bahwa kenyataan memperlihatkan berbagai aksi
kekerasan muncul dari Islam itu sendiri, sesama manusia yang mengucap dua
kalimat syahadat tetapi memiliki perbedaan madzhab. Padahal keempat ulama besar
itu tidak sampai berdebat bahkan melakukan kekerasan melainkan saling
menghormati pandangan mereka.
Pada
titik inilah, generasi milenial perlu membuka mata bahwa perbedaan bukanlah hal
yang perlu dibesar-besarkan. Generasi milenial harus sadar bahwa sebagian besar
masalah muncul disebabkan oleh internal golongan itu sendiri. Umat Islam
seringkali memperlihatkan kepada dunia bahwa Islam itu identik dengan kekerasan
yang seharusnya kita malu karena kekerasan itu dilakukan oleh sesama saudara
kita sendiri.
Zaman
kini bukan saatnya lagi untuk memperdebatkan soal fikih karena Allah berfirman
bahwa agama Islam telah sempurna dan manusia tidak akan tersesat selama
berpegang teguh terhadap Alquran dan sunah. Jauh dari masalah perbedaan
madzhab, masih banyak tantangan yang harus dihadapi umat Islam. Sudah saatnya
generasi milenial berdiskusi mengenai hal-hal yang mengancam eksistensi Islam
seperti aksi biadab yang dilakukan bangsa Zionis untuk mengambil alih tanah
Palestina.
Perbedaan
bukan melulu soal menegakkan kemurnian Islam. Perbedaan pandangan seharusnya
mendorong pola pikir umat menjadi lebih komprehensif. Melalui diskusi,
perbedaan dapat menghasilkan suatu pemahaman yang menyeluruh sehingga mendorong
suatu aksi yang bisa dilakukan. Perbedaan dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat
dan menyatukan pikiran untuk sama-sama berjuang mempertahankan Islam dari
orang-orang yang ingin menghancurkannya.
Komentar
Posting Komentar